
Sebuah negara yang melahirkan dan sebagai pemilik sah 'Pancasila', yang
bernama Indonesia, lagi-lagi di kejutnya dengan adanya pemberitaan yang membuat
panasnya kopi hitam kita semakin mantap untuk di seruput. Setelah sekian
banyaknya kegaduhan yang terjadi pada tahun 2015, dari mulai genitnya pimpinan
DPR RI kepada Donald Trump, yang diakhiri dengan pertarungan koorporat kelas
kakap yang berujung pada kasus 'papa minta saham'. Kini tahun 2016 dibuka
dengan pertunjukan 'konser sarinah' yang di mainkan oleh sekelompok teroris
amatiran, dan membuat geger dunia persilatan kita. Berbagai spekulasipun
bermunculan, bahkan memaksa rakyat untk menjadi pengamat terorisme dadakan, bak
intelijen kelas eksekutif. Di saat situasi dan kondisi psikologis rakyat pasca
'konser sarinah' yang mulai stabil, pada selasa (19/1) rakyat Indonesia
dikagetkan lagi dengan adanya berita di berbagai media massa tentang terjadinya
pembakaran massal ratusan tempat tinggal umat manusia eks anggota Gerakan Fajar
Nusantara (GAFATAR). Insiden pembakaran rumah pemukiman eks anggota Gerakan
Fajar Nusantara (GAFATAR), yang dilakukan oleh sekelompok massa di Kabupaten
Mempawah Kalimantan Barat, merupakan puncak dari sekian rentetan peristiwa
riuhnya pemberitaan soal banyaknya orang hilang secara misterius yang
dikait-kaitkan dengan organisasi kemasyarakatan GAFATAR. Tak pelak, ada sekitar
700 lebih umat manusia yang diduga eks anggota Gafatar harus di evakuasi dari
lepas kontrolnya amarah kelompok massa warga yang resah akan keberadaan eks
anggota Gafatar. Sebab, selain membakar rumah-rumah, kelompok massa warga juga
di duga ada yang sedikit melakukan tindakan kearah kekerasan fisik terhadap
ratusan eks anggota Gafatar. Pembakaran tersebut seiring dengan makin tingginya
popularitas organisasi Gafatar, yang selalu dikaitkan dengan banyaknya kasus
orang hilang secara misterius beberapa minggu lalu. Selain itu, organisasi
kemasyarakatan yang mengklaim sebagai organisasi yang bergerak di bidang
sosial-budaya dan ekonomi ini juga, di anggap sebagai Reingkarnasi dari
organisasi Al Qiyadah Al Islamiyah pimpinan 'nabi palsu' Ahmad Musadeq, yang
beberapa tahun lalu sudah dinyatakan sesat oleh MUI. Gafatar juga kerap disebut
sebagai metamorfosis dari Komar (Komunitas Millah Abraham), yakni organisasi
keagamaan yang menggabungkan ajaran islam, nasrani dan yunani. Menurut penulis,
atas dasar itu lah Menteri Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo, menegaskan secara sigap
organisasi Gafatar tidak terdaftas di Dirjen Kemendagri, dan menyatakan Gafatar
sebagai ormas terlarang. Sehingga mengundang ketertarikan media massa untuk
menjadikan Gafatar sebagai objek berita yang dinilai seperti 'gadis cantik nan
seksi'. Ujian akan kesaktian 'mantera' Pancasila sebagai dasar negara wajib
kita jawab, pengejawantahan akan nilai-nilai keTuhanan, kemanusiaan dan
persatuan, sejatinya perlu kita jalankan dalam kehidupam berbangsa dan
bernegara. Sehingga setiap penyelesaian berbagai macam kasus tidak berujung
pada kerusuhan massal seperti yang dialami oleh ratusan eks anggota Gafatar.
Misi Mulia dan Ketidakpuasan Terhadap Negara Penulis bukanlah mantan anggota
maupun loyalis Gafatar, tetapi penulis mencoba melihat Gafatar dari sudut
pandang keawaman penulis, sebab penulis tidak tau betul bentuk kesesatan
Gafatar dalam hal keyakinan beragama. Dalam website resmi gafatar.com, penulis
menilai, kerangka dasar berdirinya organisasi yang di nahkodai oleh Mafhul
Tumanurung atas dasar pandangan terhadap kondisi negara yang belum merdeka,
Gafatar menilai Indonesia masih terjajah oleh neokolonialisme. Selain itu,
Gafatar menganggap prilaku pejabat negara yang serakah dan kerap bertindak
amoral. Sehingga, ketum Mafhul Tumanurung menegaskan, yang menjdadi fokus
garapan organisasinya yakni ketahanan dan kemandirian pangan. Program kerja
itulah yang kemudian mengharuskan setiap anggotanya untuk melakukan hijrah ke
luar jawa untuk bertani dan bercocok tanam. Dan berbagai kegiatan sosial
lainnya seperti donor darah, kajian anti korupsi, dll. Secara sepintas, tujuan
dan aktifitas kerja organisasi dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara
tergolong mulia. Sebab fokus garapan Gafatar bermuara pada kesejahteraan dan
ketahanan pangan nasional. Disatu sisi penulis menilai, Gafatar merupakan salah
satu komunitas yang didirikan oleh sebagian kecil masyarakat, yang berangkat
atas ketidakpuasan terhadap negara. Sebab hasis penelusuran penulis terhadap
jejak langkah Gafatar, pada saat pendeklarasian yang digelar di gedung JIEXPO
Jakarta tahun 2012 lalu, ditandai dengan tabuh (pukul) 1.550 kentongan, yang
dianggap sebagai simbol harus bangunnya Indonesia dari tidur panjang. Tak hanya
itu, dalam sambutannya, Ketua Umum Mafhul Tumanurung juga berharap, dengan
lahirnya Gafatar, dapat menghadirkan 'Fajar' untuk Indonesia yang dianggap
'gelap gulita'. Acara deklarasi juga dihadiri oleh beberapa tokoh, seperti
budayawan Sujiwo Tejo, Taufik Ismail. Bahkan, tokoh seperti Samad Riyanto
mantan pimpinan KPK juga mengaku pernah menjadi bagian dari Gafatar, sebelum
akhirnya ramai diberitakan seperti sekarang yang pada akhirnya Samad Riyanto juga
ikut menyatakan mencurigai akan kesesatan GAFATAR. Namun disisi lain, penulis
berharap kepada elit Gafatar untuk dapat menjawab dan menjelaskan secara detail
dan terbuka, terkait keterlibatan Ahma Musadeq, yang diposisikan sebagai guru
spritual daripada Gafatar. Ini menyangkut rekam jejak Ahmad Musadeq yang pernah
di vonis penjara akibat terbukti melakukan penistaan terhadap agama. Sehingga
dapat meyakinkan publik akan pernyataan Mahful Tumanurung, bahwa Gafatar tidak
akan berevolusi menjadi organisasi keagamaan. Masalah keagamaan bukanlah
menjadi ranah kerja Gafatar, "urusan agama kita serahkan kepada ahlinya
dan pribadi masing-masing." Tegas Mafhul, pada saat Rakernas ke III
Gafatar, 26 Februari 2015 lalu. Pendewasaan Sikap Berbangsa dan Bernegara Sebagai
manusia yang berpijak diatas negara hukum, seharunya tindak tanduk kita tidak
menabrak ketentuan peraturan yang berlaku. Tindakan kekerasan maupun main hukum
sendiri, tidak dibenarkan sama sekali oleh aturan kita sebagai warga negara,
maupun sebagai manusia yang beragama. Maka dari itulah, kejadian yang terjadi
di Kabupaten Mempawah sangat melenceng dari hukum dan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, insiden tersebut jg tidak sesuai dengan hukum agama
apapun. Sebab, inti dari pengejawantahan nilai yang terkandung dalam Pancasila
dan 'Ruh' dariapa hidup beragama adalah 'Kemanusiaan'. Hal ini perlu disadari
oleh seluruh Rakyat Indonesia, sehingga kejadian semacam ini tidak akan
terulang kembali. Selain itu, Negara harus hadir dengan capat, aparat keamanan
harus bisa meningkatkan kemampuan inteligensinya, sehingga konflik horizontal
dapat di deteksi sedini mungkin. Pemerintah daerah juga harus bisa menjadi
mediator yang bijak, sehingga tidak terjadi adanya pergerakan massa yang
mengarah pada main hukum sendiri. Dan akhirnya pula, kewibaan Kepala Daerah
sebagai representasi negara tidak jatuh, akibat hanya bisa menangis menyaksikan
gesekan antara kedua kelompok yang dikarenakan ketidakmampuan seorang pemimpin
dalam mereda dan memediasi antara kelompok massa dan eks anggota Gafatar. (*)
Penulis: Wahidan (Wakil Ketua DPD KNPI Kota Banjar)