Sekelumit tentang Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer lahir di Salumbar, Rajasthan, pada 10 Maret 1939.
Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain, adalah seorang ulama di komunitas Muslim
Dawoodi Bohra, sebuah cabang dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah.
Komunitas Dawoodi Bohra pada masa awal perkembangannya sempat mengalami
persekusi baik dari komunitas Sunni maupun Syiah arus utama, sebelum kemudian
mereka bermigrasi ke India dan aktif dalam dunia perdagangan dan proyek-proyek
komunitas dan filantropis, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, perumahan
dan fasilitas umum lainnya, seminar dan berbagai program pendidikan komunitas,
serta promosi kesenian dan arsitektur Islam. Dalam konteks inilah Engineer
tumbuh. Sedari kecil, Engineer juga menekuni studi Islam dari berbagai
aspeknya.
Sebelum memfokuskan dirinya pada dunia pemikiran dan aktivisme, Engineer
berprofesi sebagai insinyur di kota Mumbai selama 20 tahun. Kebetulan, sewaktu
kuliah, ia mengambil jurusan teknik sipil di Universitas Vikram. Latar belakang
inilah yang menyebabkan ia mendapat julukan ‘Engineer.’ Selama karirnya, ia
mendirikan dan mengepalai sejumlah lembaga yang bergerak dalam penyebaran
ide-ide progresif, seperti Institute of Islamic Studies, Center for Study of
Society and Secularism dan Asian Muslim Action Network, dan menjadi
editor sejumlah jurnal seperti Indian Journal of Secularism, Islam and
Modern Age dan Secular Perspective. Tidak hanya itu, Engineer adalah
seorang pemikir yang amat produktif, menulis lebih dari 50 buku dan ratusan
artikel lainnya, baik populer maupun ilmiah. Semasa hidupnya, ia juga aktif
mempromosikan penghargaan atas keberagaman masyarakat di India. Atas
dedikasinya terhadap perubahan sosial, ia dianugerahi Rights Livelihood
Award pada tahun 2004, yang juga disebut sebagai hadiah Nobel alternatif.
Islam dan Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali Engineer
Dalam kajian sejarah Islam dan teologi pembebasan, kita dapat melihat
pokok-pokok pemikiran Engineer dalam salah satu karyanya Islam and Its
Relevance to Our Age (1987). Di sini, sebagaimana diungkapkan oleh para
pengkaji karya Engineer dan Engineer sendiri, kita juga dapat melihat pengaruh
Marxisme dalam analisa Engineer mengenai sejarah Islam dan konsepsinya tentang
teologi pembebasan. Menurut Engineer, kedatangan Islam di jazirah Arab
merupakan sebuah momen yang revolusioner. Perlu diingat, bahwa terdapat banyak
kontradiksi dalam masyarat Arab pra-Islam waktu itu: di satu sisi, masyarakat
Arab pra-Islam memiliki tradisi kesusastraan dan perdagangan yang kuat, namun,
di sisi lain, terdapat perbagai penindasan atas berbagai kelompok dalam
masyarakat tersebut – seperti perempuan, kelas bawah dan para budak. Yang
revolusioner dari ajaran Nabi Muhammad adalah tuntutan-tuntutannya yang
bersifat egalitarian: seruan atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam
ritual (seperti shalat dan zakat), kehidupan sosial (penghapusan perbudakan
secara perlahan-lahan), ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan
dan monopoli ekonomi oleh sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif)
dan hubungan antar agama (dengan para penganut agama lain). Tetapi, seruan
revolusioner yang universal dari Al-Qur’an ini juga tidak melupakan konteks
sosial masyarakat Arab pra-Islam waktu itu: penghapusan perbudakan misalnya,
dilakukan secara gradual. Di sini, kita dapat melihat sebuah pola pembacaan
yang menarik dari Engineer: ada unsur teologis dan transedental dari sejarah
munculnya Islam, namun ia tidak menegasikan atau menafikan peranan manusia
dalam membuat sejarah itu. Pembacaan ‘materialis’ atas sejarah Islam ini juga
mempengaruhi rumusan Engineer mengenai teologi pembebasan. Engineer memulai
pembahasannya mengenai sejarah sosial berbagai variasi teologi pembebasan dalam
Islam. Saya menyebutnya sebagai ‘sejarah sosial’ karena Engineer tidak hanya
membahas pemikiran berbagai aliran teologis dalam Islam namun juga berusaha
mengaitkannya dengan konteks sosial-politik di mana aliran atau mazhab tersebut
muncul. Sejumlah aliran teologi yang dibahas oleh Engineer antara lain adalah
Mu’tazilah, Qaramitah dan Khawarij.
Alirah Mu’tazilah muncul di masa kenaikan Kekhalifahan Abbasiyah yang
menantang Kekhalifan Umayyah yang mulai bersifat eksploitatif dan opresif.
Kehalifahan Abbasiyah mendapat dukungan ‘dari bawah’ dari rakyat, terutama
kelompok-kelompok non-Arab, dan ‘dari atas’, terutama dari para elit kelompok
Persia. Karenanya, di masa awal perkembangan Kekhalifahan Abbasiyah, iklim
pemerintahannya cenderung lebih terbuka dan inklusif: cendekiawan Persia
diakomodir dalam kekuasaan, penerjemahan karya-karya sains dan filsafat dari
Yunani dan India dipromosikan dan hak-hak masyarakat non-Arab lebih diakomodir.
Dalam konteks inilah, aliran Mu’tazilah, yang mempromosikan teologi rasional
dan peranan usaha (ikhtiyar) serta kebebasan manusia dalam menentukan
nasibnya (Qadariyah), muncul. Ironisnya, ketika Kekhalifahan Abbasiyah
mulai bersifat opresif dan mempersekusi lawan-lawan politiknya, aliran
Mu’tazilah kemudian dijadikan dogma: aliran Mu’tazilah dijadikan paham teologi
resmi negara oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan mereka yang menolak atau mengkritisi
beberapa ajaran dari Mu’tazilah tidak hanya dicap ‘sesat’ namun juga
‘pembangkang’ terhadap pemerintah dan dihukum. Imam Hambali, pendiri Mazhab
Hambali, bahkan tidak luput dari hukuman ini.
Aliran Qaramitah juga muncul dalam konteks penentangan atas Kekhalifahan
Umayyah. Aliran Qaramitah berasal dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah,
yang juga terpengaruh oleh ide-ide kebebasan manusia ala Mu’tazilah dan
filsafat Yunani dalam perlawanannya atas Kekhalifahan Umayyah. Kelompok
Isma’ili bahkan tetap melanjutkan perlawanannya di masa Kekhalifahan Abbasiyah
yang mulai menampakkan tendensi opresifnya. Namun, dalam perkembangannya,
kelompok Isma’ili kemudian mendirikan Kekhalifahannya sendiri, Kekhalifahan
Fatimiyah, memberi justifikasi terhadap politik ekspansi imperium. Aliran
Qaramitah adalah ‘pecahan’ dari kelompok Isma’ili yang tetap berkomitmen
terhadap politik revolusioner dan melawan baik Kekhalifahan Abbasiyah maupun
Kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan, aliran Qaramitah berusaha menghapuskan
kepemilikan pribadi dan mengorganisir berbagai komune. Salah satu tokoh sufi
terkemuka, Al-Hallaj, juga merupakan anggota dari aliran Qaramitah yang
kemudian dihukum mati oleh Kekhalifahan Abbasiyah dengan tuduhan konspirasi
untuk menjatuhkan rejim.
Aliran Khawarij, yang awalnya adalah pendukung Khalifah Keempat dalam Islam,
Ali bin Abi Thalib, yang kemudian membangkang, lebih terkenal dengan doktrinnya
‘tidak ada hukum kecuali hukum Tuhan’, memiliki kebiasaan untuk mengkafirkan
kelompok Islam lain di luar mereka dan aksi-aksi teroristiknya. Namun, terlepas
dari perkembangannya di kemudian hari, menurut Engineer, aliran Khawarij
sesungguhnya merupakan ekspresi politik dari kelompok Arab Badui, kaum
‘proletariat internal’ dalam Islam, mengutip istilah Toynbee, dalam menanggapi
krisis kepemimpinan dalam masyarakat Muslim pada waktu itu. Mengutip Mahmud
Isma’il, menurut Engineer, aliran atau faksi Khawarij sesungguhnya
mempromosikan semangat keadilan kolektif yang terpinggirkan di tengah
pertarungan politik seputar kepemimpinan atas masyarakat Muslim.
Singkat kata, dalam eksplorasinya atas sejarah awal Islam dan sejarah sosial
teologi pembebasan dalam Islam, Engineer berusaha menunjukkan beberapa hal. Pertama,
ada tradisi dan kesinambungan sejarah teologi pembebasan dari masa awal
Islam hingga sekarang. Kedua, pembacaan ‘materialis’ dan ‘sejarah
sosial’ atas masyarakat Islam membantu kita lebih memahami potensi ide-ide
egalitarian dalam Islam dan relevansinya bagi masyarakat modern – tanpa
memahami konteks sejarah ini, tentu kita akan merasa aneh melihat pembahasan
atas aliran Mu’tazilah yang rasional dan aliran Khawarij yang ekstrimis dalam
satu tarikan napas. Ketiga, dan yang paling utama, Engineer kemudian
menawarkan rumusannya atas teologi pembebasan dalam Islam: dalam pertentangan
antara kaum Mustakbirin (penindas) dan Mustadh’afin (tertindas), maka agama
harus berpihak kepada mereka yang tertindas demi mewujudkan tatanan sosial yang
egaliter dan bebas dari eksploitasi.
Isu-isu Kontemporer dalam Pandangan Asghar Ali Engineer
Sebagai aktivis sosial, Engineer juga aktif dalam berbagai mempelajari
isu-isu kontemporer seperti hubungan agama-negara, hak-hak perempuan dan kaum
minoritas, isu-isu pembangunan dan hubungan antar etnis. Di waktu kecil,
Engineer sendiri sempat mengalami diskriminasi sebagai seorang Muslim. Agaknya,
pengalaman itu juga yang membentuk pandangan Engineer mengenai berbagai isu
kontemporer. Benang merah yang menyatukan pandangan Engineer atas isu-isu
tersebut adalah pentingnya menghindari esensialisme alias kecenderungan untuk
melihat fenomena sosial sebagai kesatuan yang monolitik.
Dalam tulisannya tentang hak-hak perempuan dalam Islam (2006),
Engineer menyadari bahwa ada diskriminasi dan marginalisasi atas hak-hak
perempuan dalam masyarakat Islam. Namun, Engineer juga berhati-hati di sini:
patriarkhi dan pengekangan hak-hak perempuan bukanlah sesuatu yang unik yang
melekat pada masyarakat Islam. Dengan kata lain, bukan Islamnya, melainkan
patriarkhinya yang bermasalah. Patriarkhi, menurut Engineer, terjadi karena
kenyataan sosiologis dalam perkembangannya seringkali dianggap sebagai konsep
atau doktrin teologis (hlm. 166). Kesimpulan yang sama dapat kita lihat dalam
analisanya mengenai hubungan agama-negara (2009). Engineer mengingatkan bahwa
institusi keagaaman bukanlah institusi yang serta merta suci; ia tidak terlepas
dari berbagai kepentingan ‘duniawi.’ Engineer juga menyerukan pentingnya
‘mengembangkan kritik yang jujur atas otoritarianisme dalam sejarah kaum
Muslim’ (hlm. 117). Karenanya, meskipun Engineer mempromosikan nilai-nilai
agama dalam bentuknya yang paling spiritual sekaligus paling progresif, ia juga
kritikus terdepan atas berbagai bentuk politisasi dan fundamentalisme agama,
baik di negerinya sendiri, India, maupun di negara-negara berpenduduk Muslim
lain seperti Pakistan. Posisi Engineer mengenai hubungan agama-negara dan
hak-hak kaum minoritas mengingatkan saya atas ide ‘toleransi kembar’ (twin
tolerations) yang dipromosikan oleh Alfred Stepan (2000), yaitu ada
perbedaan antara otoritas keagamaan dan politik sekaligus kebebasan bagi
otoritas keagamaan untuk menyebarkan idenya dan mempengaruhi pengikutnya tanpa
memegang kekuasaan politik secara langsung. Agaknya, posisi Engineer tidaklah
jauh berbeda dengan ide ini.
Bidang lain yang sangat ditekuni oleh Engineer adalah studi konflik dan
hubungan antar etnis. Engineer tidak hanya menulis artikel reguler di harian Economic
and Political Weekly mengenai kondisi hubungan antar etnis di India, namun
juga melakukan studi yang mendalam atas berbagai komunitas minoritas termasuk
komunitas Muslim di India. Dalam studi-studinya, Engineer berusaha
memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang ilmuan. Pertama, ia berusaha
menggabungkan metode-metode sejarah dan antropologis dalam berbagai studinya
tentang kelompok minoritas. Kedua, dalam melakukan studinya ia
berkolaborasi dengan berbagai institusi dan ilmuwan-aktivis yang lain. Ketiga,
studi yang mendalam ini juga dijadikan ‘senjata’ bagi Engineer untuk
mempromosikan harmoni, toleransi dan pengertian dalam hubungan antar
etnis. Prinsip-prinsip ini dapat dilihat misalnya dalam studinya tentang
komunitas Muslim di Gujarat (1989). Sekali lagi, benang merah yang menyatukan
berbagai studi Engineer tentang komunitas Muslim dan minoritas adalah
pandangannya yang anti-esensialis: Engineer menunjukkan bahwa terdapat
keberagaman yang begitu luar biasa dalam komunitas Muslim, dan, komunitas
Muslim tidaklah kurang kadar ‘keIndiaan’nya dibandingkan komunitas dan kelompok
etnis yang lain.
Bukan kebetulan jika Engineer juga mendukung ‘nasionalisme campuran’
alih-alih nasionalisme Muslim ala Liga Muslim yang dipandangnya agak sektarian.
Ia menyatakan kekagumannya terhadap Jami’atul Ulama ‘il-Hindi, sebuah
organisasi Muslim yang mendukung perjuangan kemerdekaan India dan integrasi
masyarakat Muslim ke dalam masyarakat India (2009).
Terakhir, Engineer juga merupakan seorang kritik atas praktek-praktek
pembangunan yang eksploitatif. Ia misalnya, mengkritik rejim Jendral Zia-ul-Haq
di Pakistan yang mempromosikan ‘Islamisasi’ dalam artiannya yang sempit namun
menolak program-program nasionalisasi sektor-sektor ekonomi strategis,
reformasi pertanahan dan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat
redistribusionis. Di India, secara konsisten ia juga menolak politik sayap
kanan yang dipromosikan oleh Partai BJP yang mempromosikan fundamentalisme
Hindu di satu sisi dan kebijakan neoliberal di sisi lain.
Penutup: Engineer dan Kita
Melihat kiprah Asghar Ali Engineer, kiranya tak berlebihan apabila kita
memberinya label ini: intelektual organik.
Dedikasi dan komitmen Engineer tentu bukan tanpa resiko. Beberapa kali ia
mendapat ancaman dan kritik dari lawan-lawannya dan mereka yang tidak menyukai
gagasannya. Namun, ia tetap menulis, bekerja dan melawan.
Ketika nasib masyarakat makin mengenaskan, penguasa makin lalai dan para
intelektual hanya doyan berdiskusi, warisan Engineer terasa semakin relevan.
Selamat Jalan, Dr. Engineer. Di tengah-tengah bulan puasa ini, sosoknya
menjadi pengingat bagi kita semua: ia tidak menghamba, mengawang-ngawang,
maupun mendakik-dakik.***