Setengah abad lebih umur bangsa
Indonesia, perayakan hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke-70. Kalimat
selanjutnya dari tulisan kali ini bisa saya mulai dengan sejumlah basa-basi
yang sudah basi seperti berikut:
- ’Bagi sebuah bangsa 70 tahun ibarat umur seorang remaja; ia tidak lagi muda tetapi juga belum tua-tua amat.’ (Pantesan labil terus akhir-akhir ini. Terus, rupanya sejarah Indonesia ‘dimulai’ ketika kemerdekaan ‘diproklamirkan’ dalam buku-buku sejarah, dan sebelum itu tidak ada yang namanya ‘Indonesia’).
- ‘Perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa begitu berat, tetapi sejauh ini ia berhasil menghadapi berbagai tantangan, mulai dari agresi militer penjajah, pengaruh Komunisme (tentunya), otoritarianisme Orde Baru (OrBa), hingga ancaman disintegrasi bangsa di tengah-tengah proses reformasi. Kedepannya Indonesia akan terus maju sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar sedunia yang demokratis dengan pertumbuhan ekonomi yang fantastis.’ (Oke Sip).
- ‘Kita musti menuntaskan janji-janji kemerdekaan.’ (Entah janji yang mana dan dengan cara apa).
Daftar tersebut di atas hanyalah
sebagian contoh dari panggilan-panggilan nasionalisme yang kabur, yang tiap
tahunnya diulang-ulang menjelang peringatan Hari Kemerdekaan.
Kita perlu beranjak dari
narasi-narasi kopong semacam itu. Apabila kita mendaku sebagai seorang materialis
historis yang militan, maka sudah sepatutnya kita melacak sejarah aspirasi
kemerdekaan kepada sumbernya: pengalaman historis massa-rakyat.
Revolusi Sosial, 1945-1949
Masa-masa awal kemerdekaan begitu
bergejolak. Ada kekosongan rezim, kekalutan, dan kebingungan. Tetapi orang
lupa, ada banyak hal-hal lain di luar itu. Ada upaya-upaya independen untuk
mengisi kekosongan politk. Ada usaha-usaha untuk menggerakkan roda ekonomi dan
kemudian mengelolanya secara demokratis. Ada harapan yang membuncah tentang
dunia yang baru, a world turned upside down, dunia yang lebih baik.
Epos sejarah ini tercatat dalam
sejarah versi OrBa sebagai masa ‘revolusi fisik’. Sejarah versi ini, yang kita
pelajari di sekolah-sekolah, menyatakan bahwa masa revolusi fisik adalah masa
‘perjuangan bersenjata’ melawan ‘penjajah asing’ yang terkadang eksesnya bisa
‘mengerikan’ – pejabat dan bangsawan lokal menjadi korban ‘amarah rakyat’,
misalnya. Dari sini kita tahu sumber satu varian nasionalisme Indonesia yang
begitu picik, yang militeris dan anti ‘asing-aseng’. Versi sejarah ini juga
merupakan suatu penggambaran sejarah yang bermasalah, dan kita tahu, ada lebih
banyak cerita di balik itu.
Anton Lucas (1989) dalam Peristiwa
Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, mencatat bahwa masa-masa ‘revolusi
fisik’, yang ia sebut sebagai revolusi sosial, bukanlah sekedar
kekacauan dan avonturisme politik. Ia mencatat bahwa:
“Peristiwa Tiga Daerah adalah suatu
peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara Oktober sampai
Desember 1945 di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, di Keresidenan Pekalongan
(Jawa Tengah), di mana seluruh elite birokrat, pangreh praja, (residen, bupati,
wedana, dan camat), dan sebagian besar kepala desa, “didaulat” dan diganti oleh
aparat pemerintahan baru, yang terdiri dari aliran-aliran Islam, Sosialis, dan
Komunis.” (hal. 1).
Dalam bukunya, Lucas memaparkan
bagaimana kondisi rakyat di tiga daerah tersebut di masa-masa terakhir
penjajahan Belanda di Indonesia. Di tengah-tengah cengkeraman kolonialisme dan imperialisme,
massa rakyat tidak punya suara. Jangankan untuk berbicara, untuk makan saja
susah karena hasil panen sering diambil secara semena-mena. Tentu tetap ada
yang beruntung dalam kondisi seperti itu: para elit lokal yang kedudukannya
tetap terjamin dalam masyarakat kolonial. Ditambah lagi Fasis Jepang datang dan
merampas segala sumber daya rakyat dan memobilisasi tenaga mereka untuk
keperluan ekspansionisme militerisnya.
Di dalam kondisi seperti itulah,
massa rakyat berusaha bertahan dan berlawan, baik secara langsung dan
konfrontatif maupun secara diam-diam. Dan ketika momen kemerdekaan datang, maka
momen itu segera dilihat sebagai sebuah kesempatan politik. Lucas mencatat
massa rakyat, para penduduk desa yang merupakan bagian dari lapis-lapis paling
tersubordinasi dan termarginalkan dalam struktur sosial masyarakatnya,
berhimpun, mengadakan rapat-rapat umum, menunjuk secara langsung
wakil-wakil terpercaya dari masing-masing golongan mereka – baik Islam,
Nasionalis, Sosialis, maupun Komunis, dan melakukan redistribusi kekayaan desa.
Membaca cerita-cerita tersebut,
sejenak saya merenung dan berpikir: Bukankah ini model tatanan politik dan
ekonomi yang Marx dan Engels amati dalam Komune Paris? Bukankah pengaturan
masyarakat seperti ini yang disebut-sebut sebagai tatanan ekonomi-politik yang
ideal bagi kaum Kiri, di mana rakyat pekerja dapat berpartisipasi secara
langsung dalam politik dengan menunjuk wakil-wakil mereka yang terpercaya dan
dapat diganti sewaktu-waktu dan berpartisipasi secara mandiri dalam ekonomi
melalui free association of producers?
Ternyata apa yang menjadi cita-cita
Revolusi Perancis – Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan – menemukan
gaungnya dalam Revolusi Indonesia, yang diamalkan berdasarkan satu aksiom
politik progresif: percaya kepada massa.
Saya teringat anjuran E.P. Thompson,
sejarawan dan aktivis Marxis terkemuka dari Inggris itu, bahwa kita perlu
mencari ‘akar-akar lokal’ dari tradisi Kiri-radikal di masyarakat kita sendiri.
Thompson melakukannya dalam konteks masyarakat Inggris. Dalam konteks kita,
anjuran Thompson juga perlu kita amalkan: kita perlu senantiasa menggali
kembali tradisi radikal dalam masyarakat kita.
Apa yang dibahas secara mendalam
oleh Lucas dan banyak sejarawan lain hanyalah sebagian dari berbagai cerita mengenai
cita-cita universal emansipasi dan pembebasan yang dapat ditemukan dalam
sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Mengapa mempelajari pengalaman ini begitu
penting? Karena sejarah menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman tersebut
merupakan gugatan, baik bagi historiografi ‘nasionalis’ OrBa maupun ortodoksi
historiografi liberal. Baik apologis OrBa maupun komentator liberal memandang
upaya-upaya revolusi sosial dengan sebelah mata. Yang pertama
memandangnya sebagai sumber kekacauan yang mengganggu order, ‘stabilitas’
tatanan ipoleksosbudhankam, yang solusinya adalah menghadirkan kembali
Leviathan bagi para pendukung stabilitas dan pembangunan – dengan kata lain
kaum militeris dan oligark. Yang kedua memandangnya sebagai sumber
‘totalitarianisme’, yang merongrong ‘kebebasan individu’, yang solusinya adalah
revitalisasi ‘negara minimal’, sembari abai terhadap tendensi koersif dari
proyek pembentukan negara itu sendiri dan totalitarianisme pasar. Sejarah
Revolusi Sosial Indonesia – sebuah revolusi (dengan ‘r’ kecil) dalam Revolusi
Nasional (dengan ‘R’ besar) – meskipun singkat, menunjukkan bahwa ada jalan
lain menuju kemajuan yang mungkin bisa kita tempuh.
Sayangnya, sejarah revolusi sosial
tidak berlangsung lama. Sebagai Republik muda, pemerintah pusat yang baru harus
mengukuhkan otoritas dan kedaulatannya. Alhasil, upaya-upaya ‘spontan’ dari
bawah kerap kali harus ditertibkan dan diredam, agar tidak mengganggu keamanan
nasional. Sebagaimana upaya-upaya historis eksperimen politik emansipatoris
yang lain, Revolusi Indonesia menemukan kontradiksi dan kesulitan-kesulitan
pada dirinya sendiri. Apabilla Revolusi Bolshevik harus berhadapan dengan momen
politis yang sulit, seperti Pemberontakan Kronstadt misalnya, maka Revolusi
Indonesia juga berhadapan dengan momen yang serupa tatkala dihadapkan dengan
eksperimen-eksperimen sosial di tingkat bawah. Siapakah yang benar?
Sukarno-Hatta dan Lenin-Trotsky? Atau para massa rakyat yang menuntut
pelaksanaan revolusi sekonsisten mungkin dan berusaha mengambil ‘aksi sepihak’
sebagai konsekuensi logis dari cita-cita revolusi yang mereka amini dan
perjuangkan tersebut? Siapakah yang salah? Para pemimpin revolusi atau
anak-anaknya? Saya tidak tahu. Tidak ada jawaban yang mudah atas pertanyaan
tersebut. Tetapi kita tahu, bahwa kedua-duanya memperjuangkan cita-cita yang
sama, dengan cara yang berbeda dan terkadang berseberangan. Tetapi
kedua-keduanya merupakan bagian dari suatu perjuangan panjang, a long,
protracted struggle, yang bertujuan menciptakan masyarakat baru yang bebas
dari penindasan yang lama, yang terlepas dari perbedaan mereka,
warisan-warisannya perlu kita hargai.
Tetapi, adakah yang tersisa sekarang
dari warisan tersebut? Lagi-lagi saya ragu. Konsep ‘Indonesia’ sekarang tidak
lagi identik dengan cita-cita pembebasan nasional, demokrasi rakyat, dan dunia
yang baru. Ketika mendengar kata ‘Indonesia’, yang segera terbayang dalam benak
saya adalah suatu bangsa di mana para oligark dan militeris tetap berkuasa dan
sisa-sisa rezim lama masih bercokol di puncak-puncak kekuasaan. Ketika
mendengar kata ‘Indonesia’, saya teringat oleh mereka yang suara-suaranya
dibungkam selama puluhan tahun, kepada ratusan ribu nyawa yang melayang dalam
katastrofi 1965, kepada jutaan rakyat yang ditindas di Aceh, Papua, dan
Timor-Leste.
Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc